"Berbahagialah
orang yang suci hatinya, karena mereka
akan
melihat Allah”
Oleh Benny Solihin
Oleh Benny Solihin
Nats :
Matthew 5:8
Pendahuluan
Seorang Pendeta
pernah bercerita tentang kisah pemilihan majelis di gerejanya. Setelah
melalui proses pemilihan yang cukup seru maka terpilihlah 10 orang untuk
menjadi majelis dalam periode yang baru. Lalu tibalah mereka pada acara
pemilihan ketua majelis. Hampir semua majelis yang baru terpilih mendesak
seorang bapak, katakanlah bapak A, untuk menjadi ketua majelis. Tetapi
berulang kali bapak A berkata: “Jangan saya tidak bisa, saya tidak pantas,
sungguh jangan saya tidak mau!” Akhirnya, pemilihan ketua majelis diadakan
dengan cara setiap orang menulis di selembar kertas kecil sebuah nama yang
difavoritkan untuk menjadi ketua.
Setelah 10
orang majelis itu selesai menulis dan kertas dikumpulkan, kemudian nama-nama
di kertas itu dibacakan dan hasilnya ditulis dipapan tulis. Ternyata dugaan
semua orang tidak meleset, dari kertas pertama sampai kertas kesembilan nama
yang tertulis adalah nama bapak A. Semua orang tertawa dan menyalaminya.
Bapak A menjadi rikuh dan berkali-kali berkata: “Jangan, jangan saya orang
lain saja. Saya tidak mau!” Ketika orang sedang sibuk menyalaminya, sang
pendeta berkata: “Coba bukalah kertas yang terakhir?” Semua orang tenang
kembali, kemudian kertas kecil itu dibuka dan nama yang terakhir itu adalah
juga nama bapak A. Itu berarti bahwa bapak A telah memilih dirinya sendiri.
Sdr-sdr,
semua orang menjadi bingung dan bertanya-tanya tentang diri bapak A,
“mengapa yang dikatakan oleh bapak A berbeda degan yang tersimpan
di dalam hatinya?” Dengan kata lain, “mengapa citra yang diberikan
oleh bapak A kepada orang-orang di sekelilingnya berbeda dengan
integritas yang ada di dalam dirinya.”
Godaan yang kuat bagi rohaniwan
Sdr-sdr,
seorang rohaniwan mungkin saja tidak terlalu mudah tergoda untuk memiliki
harta yang bukan miliknya, atau wanita yang bukan istrinya, atau pria yang
bukan suaminya, atau kekuasaan yang bukan bagiannya, tetapi tidak dapat
dimungkiri bahwa seringkali seorang rohaniwan lebih mudah tergoda untuk
menampilkan citra lebih daripada integritas.
Sdr-sdr,
Citra adalah kesan yang kita berikan kepada orang lain tentang diri
kita, sedangkan integritas adalah realita diri kita yang
sesungguhnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan integritas
sebagai “ keterpaduan; kebulatan; keutuhan”. Tentu yang dimaksud
adalah keterpaduan, kebulatan, keutuhan antara apa yang di luar dan apa yang
ada di dalam; antara apa yang dikatakan dengan apa yang tersimpan di dalam
hati. Dengan kata lain, integritas adalah kejujuran.
Latar-belakang
Sdr-sdr,
perkataan Tuhan Yesus dalam ucapan bahagia yang berbunyi, “Berbahagialah
orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” mempunyai
latar belakang di mana Tuhan Yesus melihat kehidupan para rohaniwan saat
itu, yakni orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, yang berusaha memberikan
citra mereka yang begitu rohani di mata publik, lebih dari keadaan mereka
yang sebenarnya.
Sdr-sdr,
sekilas pandang, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat adalah orang yang
sangat ketat melakukan ibadah dan hukum-hukum agama. Mereka berpuasa, berdoa
dan membayar perpuluhan mereka dengan setia. Mereka bergaul dengan
hukum-hukum Tuhan, menyelidikinya dengan teliti, menjalankannya dan
menjadikannya sebagai pedoman hidup mereka yang tertinggi. Tiada hari yang
mereka jalani tanpa Taurat Tuhan.
Mereka
mengidentifikasikan diri mereka sebagai penjaga hukum Allah. Mata mereka
bisa bersinar dengan tajam ketika melihat seseorang melanggar hukum Allah.
Mereka adalah polisi-polisi Allah yang menjaga agar orang-orang
Yahudi tetap taat pada hukum-hukum Allah. Tak heran, mereka menjadi tumpuan
dan panutan masyarakat. Citra mereka sangat baik.
Namun
demikian, mereka tidak dapat mengecohkan mata ilahi Yesus. Menara gading
citra yang nampak indah menjulang tinggi, tidak dapat mencegah Yesus
untuk melihat dasar fondasinya. Dan ketika Yesus melihat dasar fondasinya
Yesus mengecam mereka.
Kecaman
Yesus yang keras tertulis di dalam Matius pasal 23. Dalam ayat ke
25-26, Yesus berkata:
“Celakalah
kamu, hai ahli-hali Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang
munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi
sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan. Hai orang Farisi yang buta,
bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan
bersih.”
Kata
celakalah dalam bahasa Yunani (ouai) mengandung pengertian
kemarahan dan juga kedukaan. Yesus geram dan juga sedih melihat kehidupan
para rohaniwan saat itu. Yesus mengecam mereka dan berkata:
1.
“Bagian luar
dari cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya,”
Sdr-sdr, ini
menunjukkan bahwa orang Farisi dan ahli Taurat mempunyai perhatian
khusus untuk menjaga citra mereka di mata publik. Mereka melakukan itu
karena mereka sadar sepenuhnya, bahwa citra adalah bagian yang jelas dilihat
oleh orang banyak. Hormat dan pengakuan orang banyak kepada mereka sangat
tergantung dari citra yang mereka berikan. Oleh karena itu, mereka menjaga
nama baik mereka, reputasi mereka, penampilan mereka.
2.
“Tetapi sebelah
dalamnya penuh dengan rampasan dan kerakusan”
menyatakan betapa berbedanya citra mereka dengan integritas mereka. Mereka
coba memoles citra tetapi mengabaikan integritas. Karena integritas ada di
dalam dan tidak terlihat oleh mata manusia, mereka merasa aman. Di dalam
ruang nyaman inilah mereka ada sebagaimana yang mereka ada; mereka berpikir
sebagaimana yang mereka pikirkan, mereka hidup sebagaimana yang mereka
inginkan. Mereka memuaskan keinginan dan kerakusan serta kedagingan mereka:
melahap, menindas, penuh kebencian, kebohongan, kesombongan dan
ketidak-setiaan; menggambil dan jarang memberi; menerima dan jarang
membagi. Inilah keadaan mereka yang sebenarnya. Tidak heran Yesus mengecam
mereka dan menyebut mereka munafik!
R.C. Sproul
berkata: “Orang munafik adalah pemain sandiwara moral yang
memakai topeng untuk menutupi keadaan diri yang sesungguhnya. Ia
berpura-pura lebih benar dari keadaan yang sebenarnya. Kehidupannya ialah
kepalsuan yang terlindungi.”
3.
“Hai orang
Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah
luarnya juga akan bersih,”
Sdr-sdr, Yesus
menyamakan para rohaniwan yang demikian itu dengan orang buta yang tidak
pernah melihat wajahnya sendiri di dalam cermin. Mereka disibukkan dengan
imajinasi akan reputasi diri mereka, tetapi tidak mau introspeksi diri dan
menyadari realita yang ada.
Namun demikian, di sini Yesus memberikan satu prinsip “kebangunan”
untuk para rohaniwan itu, yaitu
inside-out,
yang artinya dari dalam ke luar. Bereskanlah yang di dalam
lebih dahulu, yang tidak kelihatan oleh mata orang lain, maka yang di luar
dengan sendirinya akan mengikuti.
Hati sebagai pusat
Inside-out itulah prinsip pembaharuannya. Dimulai dari dalam, dari hati.
Yesus tidak berkata, “berbahagialah orang yang cerdas pikirannya”
atau “berbahagialah orang yang gagah perawakkannya atau cantik parasnya,”
tetapi Ia berkata, “berbahagialah orang yang suci hatinya.”
Hati
adalah pusat dari kehidupan batin seseorang di mana seluruh kekuatan dan
fungsi spiritual berasal. Bagi Allah hati seorang rohaniwan merupakan
standard ukuran dari pada pelayanannya. Oleh karena itu Yesus berkata, “Berbahagialah
orang yang suci hatinya.” Namun apa yang Yesus maksudkan dengan
“orang yang suci hatinya” itu? Apakah itu berarti hati yang tidak
berdosa sama sekali? Kalau memang demikian adakah orang yang seperti itu?
Definisi “Orang yang Suci Hatinya”
Dalam
banyak terjemahan bahasa Inggris tidak ditulis dengan “holy in heart” (suci
hatinya) tetapi “pure in heart” (murni hatinya). Kata Yunani yang dipakai
untuk kata suci di sini adalah katharos yang berarti
bersih. Istilah ini kadang kala dipakai untuk menunjuk susu atau
anggur yang tidak dicampur dengan air sedikit pun, atau logam yang
dipanaskan sedemikian rupa sampai semua kotoran yang melekat padanya sirna.
Jadi,
orang yang suci hatinya adalah:
·
orang yang
hatinya murni, bersih, tidak tercemar, tidak terisi dengan kelicikan; orang
yang bebas dari motif yang tidak benar.
·
orang yang
tidak pandai bersandiwara, transparan di hadapan Allah dan manusia; orang
yang penampakkan luarnya sama dengan apa yang ada di dalam hatinya. Dengan
kata lain orang yang memiliki integritas.
Antara Citra dan Integritas
Orang
yang memiliki integiritas tidak punya apa pun untuk disembunyikan dan tidak
punya apa pun untuk ditakuti. Kehidupan mereka seperti buku terbuka yang
diterbitkan memang untuk dibaca. Integritas bukanlah apa yang kita lakukan
melainkan lebih cenderung adalah siapa diri kita yang sesungguhnya. Dan
siapa diri kita yang sebenarnya, pada gilirannya menetapkan apa yang kita
lakukan. Integritas yang baik akan menghasilkan perilaku yang baik.
Mereka akan melihat Allah
Orang-orang yang seperti inilah yang disebut Tuhan berbahagia karena ia akan
melihat Allah. Ia akan melihat Allah di dalam kehidupannya, keluarganya,
pelayanannya, dan dalam orang-orang yang dilayaninya. Di mana pun ia ada ia
akan selalu melihat Allah, karena ia memiliki hati yang sama dengan hati
Allah: lurus, murni adanya.
http://www.sumberkristen.com/