Oleh Pdt. Efendi Susanto
Menara
Babel adalah satu kudeta. Menara Babel adalah usaha manusia
melengserkan Tuhan dan menjadikan dirinya sebagai pusat alam semesta.
Menara Babel adalah peristiwa historis dimana manusia bersatu menurunkan
Tuhan dari tahta-Nya sebagai Raja secara paksa (the dethronement of
God).”Marilah kita mencari nama” (Kej 11:adalah usaha manusia untuk
melepaskan dirinya sebagai satu makhluk yang tercipta. Menara Babel
adalah usaha manusia untuk “denies his creaturehood.” Slogan manusia dari “Old Tower of Babel”
adalah “Marilah kita membuat nama untuk diri kita sendiri.” Semangat
yang sama tetap hidup dalam kehidupan modern kita. Slogan manusia dari “Modern Tower of Babel,” diwakilkan oleh cetusan Existentialist modern, Jean Paul Sartre, “Man is nothing other than what he makes of himself.”
Sekalipun Millenium Baru sudah kita songsong, namun ceramah Aleksandr
Solzhenitsyn di Harvard University tahun 1978, yang mengeritik tajam
abad 20 tetaplah terasa “pedas.” Ia mengutuk dunia Barat khususnya,
telah berkubangan hidup dalam “godlessness, materialism, and superficiality.”
Solzhenitsyn berkata bahwa Barat telah menyingkirkan Tuhan dan segala
kedalaman pemikiran agama dan
menggantinya dengan kebebasan dan kesenangan yang superfisial (dangkal
dan cetek, kata orang Betawi). Inilah kehidupan “Menara Babel Modern”
yang telah dan sedang kita jalani.
Tuhan memberi “Nama” Manusia itu: Adam
Adalah
Allah yang pertama memberi nama. “Memberi
nama” berarti mengingatkan eksistensi manusia bukan timbul begitu saja
tanpa sumber dan sebab. “Memberi nama” berarti manusia terkait dengan,
takluk kepada, dan taat kepada satu “the ultimate source of all values and existence” yaitu Tuhan. “Batu bata” yang disusun oleh manusia modern mendirikan satu menara Babel yang baru yaitu penolakan segala elemen religio dalam hidupnya. Manusia “denies his creaturehood”
dengan mengikis habis segala ikatan dengan Tuhan dan menyingkirkan
Tuhan dan semua aspek moral-Nya dari segala arena publik dan privat.
Mengapa manusia mau dan giat “menyingkirkan” Tuhan? Reinhold Niebuhr
mengatakan bahwa di dasar hatinya, manusia menginginkan sekuritas.
Manusia senantiasa bergumul
dengan “anxiety” karena dia sadar sebagai manusia “both finite and free, both limited and unlimited.” Inilah dimensi “creaturehood” manusia. Sayangnya, manusia tidak bisa menerima hal ini, celakanya, manusia berpikir penyebab “anxiety”
dalam hidupnya adalah Tuhan yang diimani “bebas, berkuasa, tak
terbatas, dan menuntut pertanggungjawaban manusia yang terbatas.” Karena
“anxiety” atas Tuhan seperti ini yang lama kelamaan “membunuh”
manusia. Maka lebih baik manusia mendahului “membunuh” Tuhan. Jadilah
seperti yang dikatakan Nietszche, “Tuhan sudah mati, dan kitalah yang
membunuhnya.”
Amusing Ourselves to Death
“Membuat
batu bara dan menara” adalah kemajuan tehnologi, arsitektur, dan daya
kreasi manusia, luar biasa, namun menyedihkan, karena segala kemajuan
dan penemuan manusia dipakai untuk “dethronement of God.” Salah satu
cirri yang mencolok mata dari kemajuan manusia yakni semakin “buncit
perut” manusia dan epidemi
obesitas (kegemukan) melanda generasi McDonald, atau dengan kata lain
kemakmuran materi menjadi tolok ukur kemajuan dan kesuksesan atau bahkan
“ketuhanan” manusia. Namun bukan saja materi melimpah, tetapi materi
telah menjadi “amusement.” Materialisme telah menjadi “penyandang” dana
berdirinya Menara Babel Modern.
Menyingkirkan
Tuhan dari kehidupan manusia dan menggantinya dengan kesenangan materi
pasti akan bermuara kepada pendangkalan hidup manusia. Cepat atau lambat
“Menara Babel Modern” yang dibangun dengan fondasi yang “dangkal dan
cetek” akan runtuh dan hancur luluh. Cepat atau lambat “menikah” dengan
Menara Babel Modern akan menjadikan manusia
janda dan duda, dan pasti menelantarkan jiwa manusia menjadi yatim
piatu, papa dan nestapa. Sayang banyak manusia tidak peka menyadarinya
dari awal. Kehilangan Tuhan dalam hidupmu berarti engkau kehilangan
dirimu sendiri. Kisah ambisius Menara Babel akhirnya ditutup dengan
epilog tragedi kemanusiaan. Inilah “story” dari dan oleh manusia yang dengan paksa “dethronement” Tuhan. Namun, Alkitab mempunyai satu “story” yang mendatangkan pengharapan jika manusia mengaitkan spiritualitasnya dengan menahtakan Tuhan kembali dalam hidupnya. Ada “story”
dari dan oleh Tuhan yang dengan sukarela “turun dari tahta”Nya demi
untuk memberikan kemuliaan kepada manusia yang menyadari kepapaannya.
Dunia membutuhkan God’s
story ini, kisah inkarnasi dan penyaliban Yesus Kristus.
Sumber :
Artikel di situs Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Sydney, Australia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar